Sayang, Mengertilah



Mawar itu layu dalam cengkeraman. Usia tujuh hari selepas dipetik. Masih berpita putih dan terangkai. Berjejer rapi dengan mawar-mawar lain yang sama layu.
Amay meletak kembali. Sebenarnya ia resah dengan keberadaan mawar yang ia genggam itu. Untuk apa? Mahal terbeli, selesai memandang dibuang. Kan sayang. Meski begitu ia tetap menikmati bebauan segar yang menguar pertama kali menerimanya dulu.
“Nona Amay?”
“Ya saya?”
“Ada kiriman bunga untuk Nona. Silahkan.”
“Terimakasih, Pak.”
Kurir itu kok tahu-tahu langsung datang kemari? Punya GPS versi dunia akhirat apa ya? Pikir Amay yang sedang menyore di taman kampus dengan aktivitasnya tenggelam dalam kesibukan buku dan makalah-makalah saat itu.
Ia tidak melanjutkan pikiran kacaunya. Buat apa? Buang tenaga.
Alif?
Mata sipit itu berkaca-kaca selesai membaca surat dan pengirimnya.
Dia cepat membuka ponsel. Ditatap lama-lama wallpaper HP-nya. Laki-laki tangguh dengan badan kekar dan tegap berseragam khas anak bea cukai. Tatapan rindu.
“Kamu mencoba romantis atau apa? Pernahkah begini sebelumnya? Aku lupa.” Masih dengan memandangi wallpaper ponsel. Segera ia membuka sosial media tempat mereka membuncah segala cerita.
Terimakasih. Tulisnya singkat. Disertai sedikit emoticon titik dua tutup kurung. Tidak banyak babibu. Alay. Lebay. Atau harus di pos seluruh media sosial agar sepenjuru dunia mengerti ia yang selalu di hati Alif. Tidak. Amay tidak akan mengusik kesibukan Alif dengan manjanya. Toh dia juga sama-sama sibuk. Bertegur sapa cukup sekali dua. Beruntung sekali bila bisa berlanjut menjadi cerita. Ah sibuk.
Dear Al, mawarnya sudah layu. Mau diapakan? Chatnya selepas menaruh mawar itu kembali ke mejanya.
Buang saja. Memang mau kau apakan? Buat sesaji juga boleh.
Tumben sekali Alif jawab cepat. Rupanya dia senggang saat ini. Padahal tadi takut-takut mengganggu. Dua minggu lagi ujian akhir dilaksanakan.
Amay tertawa. Mau aku kirim ke kamu.
Yee layu gitu. Mending aku beli sendiri.
Kalau beli sendiri emang buat apa? Cowok juga suka bunga?
Daripada dikasih layu. Ih ogah.
Ih yaudah aku simpen sampai nanti kamu pulang aja.
Disimpan sampai dia pulang? Konyol.
***
Detik berlalu bagai tembakan peluru. Cepat sekali mendatangkan minggu-minggu baru.
“Besok aku pulang. Jemput di terminal ya.”
“Loh sudah selesai ujiannya? Kok cepat? Tidak ada yang perlu diselesaikan lagi kah?”
“Secepat kilat aku selesaikan. Aku rindu rumah, rindu papa, mama. Rindu-“ Alif sengaja menggantung suaranya.
            “Iya besok aku jemput. Kasih tahu kalau sudah dekat. Jangan setelah sampai baru bilang nanti kamu kelamaan nunggu.”
            “Rindu kamu.” Alif menyambung.
Yang disebarang telefon air mukanya bersemu merah. Namun pura-pura tidak menggubrisnya. “Pokoknya dipersiapkan dengan baik. Jangan sampai ada yang  ketinggalan. Perjalanan jauh. Minyak angin, obat anti mabuk…”
“Rinduku tak terbalas sepertinya.” Alif memenggal gerbong kalimat Amay.
“Aku rindu juga. Sampai bertemu segera.”
***
            “Seusai pengumuman nanti aku magang di Direktorat Jendral Bea Cukai pusat sambil nunggu tes CPNS diadakan. Semoga penempatanku memang disitu tidak lebih jauh dari kampus ke rumah ini. Doakan yang terbaik untukku, May.”
            Sore yang indah untuk menghabiskan waktu bersama yang terkasih. Taman kota dengan keramaian di sekelillingnya. Indah. Banyak bunga merekah. Segar memandang ditengah himpitan polusi kota. Tapi kalimat pembuka tadi kurang menyenangkan didengar Amay. Ia hanya tersenyum. Kecut.
            “Kamu tidak buru-buru minta dipinang kan?” Tanyanya bergurau-serius.
            “Kamu tidak takut aku segera diambil orang kan?”
            Pertanyaan itu menohok. Sampai yang ditanyai gantian senyum. Pahit.
            “Aku juga harus menyelesaikan studiku kok.” Amay buru-buru menenangkan takut salah paham.
            “Aku janji akan menikahimu segera.”
            Segera? Segera itu kapan? Ah laki-laki, kapan kamu jadi makhluk kepastian.
            “Aku mencintaimu, May.”
            Alif meraih kedua tangan Amay. Memandang lamat-lamat gadis yang dicintainya. Amay balas menatap. Bibirnya bergerak membentuk garis tipis sekali. Tidak membalas kalimat apapun. Kemudian menunduk.
***
            Sayang? Apa kau berdoa tidak sungguh-sungguh?
            Alif tersungkur di kamar kos mendapati pemberitahuan penempatan bekerja. Percakapan itu sudah tertinggal jauh di belakang. Gadisnya. Ah entah sudah lulus juga mungkin. Hitungan tahun.
            Apa 500 km masih kurang jauh untuk menguji cintaku? Sebenarnya aku sudah lelah bermain jarak. Bukan main. Sekarang hitungan ribu mil. Kamu. Sanggupkah menantiku lebih lama lagi? Bukankah studimu menginjak selesai?
            Kalut sekali pikirannya.
            500 km dari tempat ia tersungkur, sinyal dengan cepat sekali menggetarkan kotak putih berbalut case pink sesuai kefeminiman dirinya.
            Dilihat panggilan dari pria gagahnya. Buncah bahagia ia menerima telfon setelah hitungan bulan hanya menyapa tulisan.
            “Aku mencintaimu.” Sapa seberang. Nada suaranya berat.
            “Aku juga mencintaimu.” Gadis itu ringan-ringan saja menjawab. Tak paham dengan intonasi yang berbeda dengan lawan bicaranya.
            “Apa kau sanggup menantiku lebih lama?”
“Eh?”
“Bukan main sayang. 500 km belum apa-apa untuk ujian cinta kita.”
“Mmmhh…”
“Apa kau sanggup menanti lebih lama? Tidak rewel dan tetap menjaga hatimu? Aku tidak lagi memaksa sekarang. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku risau sekali. Aku mendapat jauh. Aku khawatir masa depanku tapi aku terlalu mencintaimu. Aku belum bisa apa-apa. Ribuan mil. Aduh aku sakit sekali. Pusing.” Alif belepotan menjelaskan.
            “Ada apa?” Amay cemas tapi tetap tenang dan maksimal tidak mengubah nada bicara.
            “Maluku. Jauh sekali sayang. Hitung sendiri jarak yang harus tertempuh. Biaya sekali jalan. Sekali pulang.”
            “Jauh ya sayang?” Amay lesu.
            “Aku tidak tahu setelah berapa lama berkerja untuk kemudian bisa minta mutasi kerja. Pernikahan melanjutkan kehidupan semua butuh dana besar. Aku tidak mau mengajakmu susah, sayang. Aku malu sama orang tuamu. Aku mau bikin bangga. Aku harus sukses dulu sayang. Ini tugas Negara. Bagaimana aku bisa mengelak?”
            “Wanita adalah makhluk kepastian, sayang. Pulang saja kemari. Aku menerima apa adanya dirimu.”
            “Sayang aku memang mencintaimu. Menikah bukan perkara cinta saja, bukan? Banyak hal yang harus kita persiapkan menjelang kehidupan baru. Aku harus mapan dulu untuk mencukupimu. Sebenarnya ini berat. Tapi sayang….”
            “Tapi selama apa aku akan menunggumu? Sampai expired masa gadisku? Atau kau memang tak pernah benar-benar menginginkan pernikahan itu? Kau hanya memandang harta, jabatan, tugas Negara. Tugas mencintaiku kapan kau tunaikan? Kamu lupa sudah berapa lama aku menunggunya? Kamu nggak merasa gimana diombang-ambing rasa?”
            Telepon diputus.
***
            Bukan kepalang. Urusan ini sepertinya makin rumit saja.
          Ah sayang Amay aku memang mencintaimu. Tapi kesejahteraan kehidupan juga butuh uang. Makan cinta saja tidak akan membuatmu kenyang. Biarkan aku beruang dulu untuk mensejahterakan kehidupanmu besok bersamaku.

Japan-an, 21 November 2015

blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Pilih Mana : Cinta Atau Uang?" #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angin dan Bunga

Menepi

Seperti Janji Pelangi